New to Nutbox?

Secuil Pledoi Untuk Secercah Energi di Kantin Kampus

4 comments

munaa
72
22 hours agoSteemit6 min read
Hello Everyone

pexels-dziana-hasanbekava-7063767.jpg
Source Photo by Dziana Hasanbekava

ADA yang paling epik dari sebuah catatan manis @firyfaiz. Sosok seorang mahasiswa yang punya bakat bagus dalam menulis. Saya bisa meresap dari diksi-diksi yang dia lempar. Intinya cukup enak dibaca. Postingan ini juga menjadi semacam pledoi atas artikelnya di platform Steemit ini. link

Bagi saya setiap kata-katanya cukup bertenaga. Sangat berenergi. Apalagi, menulis baginya nafas kedua. Begitu tamsilan mendalam dari seorang calon sarjana. Postingannya menjadi lebih berbobot karena ada aura ilmiah di dalamnya. Misalnya dalam pemakain frasa latin dan mengutip quote yang amat menarik.

Tentu saja terpesona. Sampai-sampai pledoi ini telat lahir. Paling tidak harus mencari jalan agar tidak seperti langit dengan bulan saat postingan ini tayang. Bagi saya, kemampuan menarasikan warna kehidupan bukan pada tulisan ini saja. Bahkan, pada postingan lain juga.

Sampai-sampai saya menyarankan dia untuk membuat novelet atau artikel fiksi. Soalnya, bahasa dia cukup cadas. Khas penulis hebat. Bahkan saya berpikir, jika di platform ini ada "pengadilan" sastra, saya mau jadi pengacaranya. Ini bukan pujian untuk membuat cahaya bulan makin terang. Atau menabur garam ke lautan.

Dalam kondisi ini, saya tak ingin menjadi orang yang menunjuk kapak kepada penebang pohon. Tanpa kita beri pun, si pembelah kayu, sudah tahu duluan yang mana kapak. Yang mana gergaji. Jujur saja, ada satu kalimat dari Firya yang membuat saya tersanjung. Dia malah menyempurnakannya.

Saya pikir dia notulen yang baik. Tak ada tulisan yang sempurna. Pada sisi ini, saya pun mengingat apa kata penulis kawakan Inggris. J.K. Rowling. Kata dia, “Mulailah dengan menuliskan hal-hal yang kau ketahui. Tulislah tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri”

Firya_mun.jpegFirya_.jpeg

Apalagi, dalam kondisi dia yang sudah lama absen menulis. So pasti, memulai kembali cukup sulit. Seperti pemula yang baru belajar mendaki gunung. Mengingat kambuhnya minat, saya pun teringat lagi dengan Fatimah Mersini. Seorang ilmuwan Muslim dari Maroko. Dia aktivis cum penulis.

Dia pernah melontarkan pendapat. Kata dia, menulis ada forum terbaik untuk menumpahkan apa saja yang menjadi gangguan pikiran dan perasaan. Keren bukan? "Menumpahkan gagasan dalam bentuk teks merupakan terapi yang menyembuhkan berbagai penyakit," tambahnya. source

Contoh paling sederhana. Orang yang sedang diterjang gelombang asmara, tak akan bisa tidur siang. Kala malam, dia melampiaskan dalam bentuk surat. Seniman yang disandrungi ilham, akan melahirkan banyak puisi, prosa hingga kata-kata mutiara. Semuanya penuh gairah. Membuncah.

Makanya, saya menjadikan menulis ini sebagai gairah hidup. Di mana dapat gairahnya? Ada perasaan plong, ketika semua yang melilit di otak bisa cair menjadi deretan kumpulan kata. Apalagi, jika tulisan bisa tayang di media cetak. Di baca orang, di komentari dengan pujian selangit. Ada impek positif di dalamnya.

Ketika dalam kondisi begini, rasanya perut kenyang dengan sepiring pujian. Aura positif melingkar samar di sekujur tubuh. Membuat perasaan mekar, seperti melati di pagi hari. Seperti angsa jantan yang melihat leher jenjang itik betina.

Sampai pada titik ini, saya tersentuh dengan satu paragraf dalam postingan tersebut.

Aku sadar betul betapa menulis adalah terapi tanpa tarif konsultasi. Namun seperti halnya terapi yang sukses, menulis membutuhkan disiplin dan konsistensi. Masalahnya, konsistensi itu raib entah ke mana. Aku vakum tanpa alasan yang sepenuhnya jelas. Sebagian karena situasi, sebagian karena mental, sebagian lagi mungkin karena aku terlalu keras pada diriku sendiri. Firya 2024

Firya.jpeg


Nah, lagi-lagi saya seorang ahli bahasa yang juga psikolog. Dia adalah Dr. James W Pennebaker. Dia pakar yang memelopori terapi kejiwaan dengan menulis. Melalui karyanya yang berjudul Opening Up: The Healing Power of Expressing Emotion“. link

Penebaker mengatakan, jika sedang mengalami permasalahan, mulailah menulis sedikit demi sedikit, kata demi kata. Untuk mengurangi depresi yang menekan jiwa Anda maka tuliskan saja apa saja yang kita bisa tuliskan. Menulis tentang hal-hal yang negatif akan memberikan pelepasan emosi yang dapat membangkitkan perasaan puas dan lega.

Dari sisi kesehatan jiwa, bagi orang yang dapat menuliskan pikiran dan perasaan terdalam mereka mengenai pengalaman traumatisnya, berdasarkan risetnya menunjukkan akan terjadi peningkatan kekebalan tubuhnya dibandingkan dengan orang yang hanya menuliskan masalah-masalah yang remeh-temeh saja.

Dikutip dari Dictio, Terapi menulis alias Expressive Writing, pertama kali dicetuskan oleh Pennebeker pada tahun 1989.

Expressive Writing yang lebih menitikberatkan kepada menulis suatu hal yang sangat emosional dengan menulis secara gaya bebas tanpa memerhatikan jenis tulisan maupun tata bahasa. Menulis bisa menjadi salah satu bentuk terapi kejiwaan yang mudah dan efektif untuk mengurangi emosi negatif.

Menuangkan perasaan, kegelisahan, dan emosi dalam bentuk tulisan dapat membantu menurunkan tingkat stres yang sedang dialami seseorang. Semua bisa diolah menjadi energi positif yang teramat dahsyat. Hal ini pernah juga dialami BJ Habibie seusai ditinggal tulang rusuknya, Ainun.

Pakar teori pesawat itu pun tenggelam dalam rasa kehilangan dan kesedihan yang teramat sangat. Kondisi ini diistilahkan Psikosomatis malignant. Menurut B.J. Habibie, tim dokternya mengatakan, jika beliau tidak berbuat apa-apa, maka kondisi jiwa dan raganya akan terganggu dan rusak. Lalu tim dokter memberikan empat pilihan.

Pilihan itu, dirawat di rumah sakit jiwa, tetap di rumah, namum dalam pengawasan tim dokter Indonesia dan Jerman, “curhat” kepada orang terdekat dan menulis. Lalu menurut informasi yang baca di sini, B.J. Habibie memilih menulis. Dan dalam waktu 2,5 bulan, jadilah buku berjudul “Habibie dan Ainun” yang ditulisnya dalam keadaan depresi dan kesedihan yang tak bisa dilukiskan. Setelah menyelesaikan buku tersebut, berangsur-angsur fisik dan mental beliau membaik dan semakin sehat.

Entah ada kaitan atau tidak dengan cerita di atas. Namun yang pasti Dahlan Iskan, hingga sekarang masih rajin menulis. Catatannya bisa baca di laman Disway. Saya juga tidak tahu, apa alasan mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (2011–2014). Usianya saat ini 73 tahun. Masih produktif.

Barangkali, pria yang pernah berobat ke Cina untuk transplantasi ini, paham benar bahwa menulis tentang pengalaman hidup yang berharga dapat meningkatkan kesehatan. Lalu, menulis dalam jangka panjang dapat menurunkan stress, meningkatkan sistem imun, menurunkan tekanan darah, mempengaruhi mood, merasa lebih bahagia, bekerja dengan lebih baik, dan dapat mengurangi depresi.

Lalu, dalam aspek sosial dan perilaku, menulis dapat meningkatkan memori, kemampuan sosial dan linguistik. Sepertinya Dahlan, benar-benar meresapi hal ini. Kita bisa lihat dan nikmati semua pengalaman hidupnya dalam berbagai tulisan. Dia menulis setiap hari. Bayangkan. Memang tak semua tulisan berhiaskan permata dan intan. Terkadang sekali-kali ada juga yang beraroma kencing kuda.

Kutipan
"Yang penting, bisa menulis dengan nyaman dan bebas. Tak perlu khawatir dengan baik-buruk tulisan. Tulis saja apa yang ada di dalam pikiran," begitu kata Susan Bauer-Wu, peneliti dari Harvard University.

*****

10 % payout to @steem4indonesia

Thanks for being with me and reading my post patiently

*****

Achievement-1

Salam @Munaa

Banda Aceh; 21/11/2024

Comments

Sort byBest