Kami, yang Tidak Baik-Baik Saja
11 comments
Aku, Yodha, dan psikiater kami
Ada sebuah aksioma melankolis dari artikel psikologi yang kubaca. Ia berbunyi, “A traumatic bond is an attachment formed between two people who unconsciously bond to each other based on shared trauma.”
Kalimat itu pertama kalinya begitu menyemakkan pikiran. Memaksaku untuk melilitkan nalar pada kata-kata yang terdengar terlalu asing untuk diterima mentah-mentah. Akan tetapi, waktu selalu menjadi guru yang benar-benar brutal nan arif.
Ternyata, tesis itu benar adanya.
Aku menyadari ini ketika mulai merenungi lingkaran kecil di kampus. Kami—atau sering kusebut secara setengah bercanda sebagai kelompok marginal yang terhormat—adalah sekelompok mahasiswa yang tampaknya tersisih dari gaya hidup hedonistik khas mahasiswa kebanyakan.
Kami memang bukan bagian dari gen Z aesthetic dengan foto kafe berlampu kuning di Instagram, bukan pula kelompok yang mampu bersaing dalam kirab tas branded dan kopi susu tiga lapis. Kami lebih suka berhimpun di ruang-ruang sederhana, berbicara tentang buku, hidup, atau luka-luka yang tidak tampak kendatipun amat terasa.
Kami adalah segerombol manusia dengan kepala penuh pikiran liar, hati yang lapuk, tapi mata yang terus menatap dunia dengan sinisme terukur.
Aku sering berargumen dalam hati bahwa marginalisasi yang kami terima bukanlah sebentuk hinaan. Malah aku menganggapnya sebagai provokasi untuk menjadi lebih bijak dan lebih peka.
Menempuh sedikit jalan yang gelap dan berliku, dan jalan itu meninggalkan jejak. Mungkin itulah alasan kami terlihat lebih dewasa dibandingkan dengan teman-teman seusia lainnya.
Tapi, "dewasa" itu sendiri didefinisikan sebagai apa? Diksi “dewasa” seringkali menjadi istilah yang terlalu diglorifikasi. Di sirkelku, kedewasaan adalah mengenai keberanian untuk menghadapi bayang-bayang gelap di dalam diri. Kedewasaan adalah saat kami bisa berkata, “Aku sedang tidak baik-baik saja” tanpa merasa malu atau takut dicecar.
Kami mungkin bukan dewasa dalam pengertian konvensional, tetapi dalam hal menerima kerentanan, saya berani bertaruh bahwa kami jauh lebih matang daripada kebanyakan orang.
Kalau ada yang salah dengan itu, ya, biarkan saja ia tetap salah.
Sirkelku terdiri dari individu-individu dengan diagnosis yang telah ditetapkan secara profesional. Saya adalah penyintas bipolar tipe 1. Mauli adalah pengidap skizofrenia. Yodha membawa luka PTSD yang berasal dari perundungan brutal sejak masa sekolahnya, sementara Haifa bergulat dengan depresi berat yang nyaris menelannya bulat-bulat.
Semua diagnosis tadi telah ditetapkan oleh para psikiater profesional, tidak ada self-diagnosed khas TikTok di sini.
Lantas, apa yang membuat kami tetap bersama? Bukan karena kami suka mengasihani diri sendiri, melainkan karena kami menemukan sesuatu yang langka. Kehidupan telah menjadikan kami seperti potongan puzzle yang terkeping-keping, dan saat kami bertemu, potongan-potongan itu seolah saling melengkapi.
Sudah pasti terdengar klise, tetapi ada sesuatu yang dalam dari pengalaman berbagi luka. Menyambut makna tanpa perlu terlalu banyak kata.
Jangan terlalu paranoid dengan luka, entah itu luka Anda sendiri maupun luka orang lain. Di sebalik tiap retakan, ada keindahan yang hanya bisa ditemukan oleh mereka yang berani melihat lebih dekat.
Aku jadi ingat apa yang dikatakan Irvin D. Yalom, psikiater sekaligus filsuf eksistensialis, “Kebersamaan dalam penderitaan seringkali melahirkan solidaritas yang lebih tulus daripada kebersamaan dalam kesenangan.”
Solidaritas bukan berarti kami saling memanfaatkan penderitaan masing-masing, melainkan bahwa kami tahu bagaimana rasanya jatuh ke lubang gelap tanpa ada yang memegang tangan.
Tidak semua luka itu sama, tentu saja, tetapi ada kesamaan rasa yang tak terucapkan. Kami memahami bagaimana rasanya bertahan hidup di bawah tekanan mental yang konstan. Kami mengerti bahwa tidak semua hari akan baik. Kadang-kadang, bahkan, sekadar bangun dari tempat tidur adalah prestasi.
Sebagian besar dari kami membawa beban yang berakar dari pola asuh yang disfungsional. Tidak, ini bukan untuk menyalahkan orang tua kami. Orang tua juga manusia dengan keterbatasan mereka sendiri. Tetapi fakta tetaplah fakta. Cara kita diasuh membentuk pola pikir, kepercayaan, dan bahkan bagaimana luka itu dipoles.
Berteman dengan orang yang punya gangguan mental acap kali dipandang sebagai pilihan yang gawat. Aku pernah mendengar komentar seperti, “Bukankah itu melelahkan?”
Memang, agak melelahkan. Tetapi aku sadar bahwa dunia ini bukan ruang isolasi steril di mana setiap orang harus menghindari sentuhan dengan sesuatu yang dianggap tidak sempurna. Padahal di dalam ketidaksempurnaan itu lah aku menemukan ruang untuk bernapas.
Aku tidak pernah memilih lingkaran ini. Lingkaran inilah yang memilihku.
Comments