New to Nutbox?

Catatan Seorang Moderator Diskusi

23 comments

firyfaiz
69
7 days agoSteemit4 min read

DSC09202.jpeg

“Peace does not mean an absence of conflict; it is the ability to handle conflict by peaceful means.” - R. Reagan

Diriku lima tahun silam mungkin tak akan menyadari apa-apa yang akan termakbul padanya hari ini, termasuk sesiapa saja yang ia temui di masa mendatang.

Bertenggong di bangku kelas 11. Meraba-raba seting dunia dengan mata yang dipenuhi kritisisme —yang sayangnya—belum dicekoki asam garam.

Dalam kurun tersebut, diskusi tentang isu-isu kesetaraan gender dan perdamaian hanya menjadi latar samar yang muncul di berita atau buku yang kubaca. Tidak lebih dari catatan pinggir di buku teks yang tak sepenuhnya kupahami.

Tidak pernah kubayangkan bahwa kelak, aku akan menatap langsung wajah-wajah perempuan yang mencuplik diksi “feminisme” sebagai sebuah gerakan nyata. Lebih-lebih lagi memandankan pikiran dengan mereka.

Tidak ada yang lebih menggairahkan daripada menyaksikan diriku sendiri berbincang dengan orang-orang yang dulunya hanya hidup dalam artikel-artikel opini yang sering kusalin-tempel di PowerPoint.

Namun, Tuhan, dengan segala teka-teki-Nya, menuntunku ke perjumpaan yang tidak pernah kusangka. 6 Desember 2024 menjadi hari ketika takdir mengait benang-benang kehidupanku dengan milik dua nama besar.

Suraiya Kamaruzzaman dan Riswati. Dua nama yang kerap dinaungkan di kancah isu kesetaraan gender dan advokasi perempuan di Aceh. Mereka bukan sekadar nama hebat yang terpatri di Curriculum Vitae (CV) nan panjang penuh prestasi. Kedua sosok ini telah mengguncang status quo dengan keberanian, intelektualitas, dan kebijaksanaan yang mereka punya.

DSC09218.jpeg

Suraiya Kamaruzzaman sendiri adalah personifikasi dari keperkasaan perempuan Aceh. Sebagai pendiri Flower Aceh, organisasi yang fokus pada pemberdayaan perempuan sejak 1989, ia telah membawa diskursus kesetaraan gender ke panggung internasional.

Namanya tertatah sebagai pemenang N-Peace Award 2012, penghargaan dari UNDP yang mendaulatnya sebagai role model perdamaian di Asia Pasifik. Tidak berlebihan jika aku menyebutnya sebagai Florence Nightingale dari Aceh.

Sementara itu, Riswati, atau kerap disapa Bu Riris, adalah seorang aktivis dengan spesialisasi kajian perempuan dan gender. Ia memiliki khitah yang lebih strategis dalam memetakan isu gender di Aceh. Sebagai Direktur Eksekutif Flower Aceh, Bu Riris telah memandu pelbagai program pemberdayaan perempuan guna menjadi agen perubahan di tingkat akar rumput.

Salah satu kontribusinya yang paling menonjol yaitu melalui penelitian partisipatoris. Salah satunya Feminist Participatory Action Research (FPAR). Sebuah penelitian yang—entah, aku pun tidak terlalu menyelami—tujuannya memberdayakan perempuan untuk lebih dekat, lebih kenal dengan perannya dalam membangun masyarakat yang resilien.

Jika Bu Suraiya adalah bunga krisan liar yang mekar dengan keteguhan, maka Bu Riswati adalah akar yang menopangnya dalam kekukuhan. Momen berdialog dengan keduanya di atas arena Taman Sari serasa seperti menonton dua maestro bermain simfoni di panggung yang sama.

Sebagai moderator diskusi, aku tahu bahwa menjalin hubungan dengan narasumber sebelum acara adalah hal krusial. Ritus sederhana seperti ini kupercayai semacam seni mencairkan suasana. Suasana yang menentukan keberhasilan di atas panggung. Dengan langkah penuh kehati-hatian, aku mendekati Bu Riswati dan Bu Suraiya.

But Riswati menyambut dengan senyum hangat yang bikinku merasa seperti berbicara dengan seorang kakak. Sementara Bu Suraiya terlihat sebagai sosok kalem nan bersahaja. Mengejawantahkan kesan seorang guru yang mengajari muridnya tentang makna hidup.

DSC09211.jpeg

Dalam hitungan menit, sebelum naik ke panggung, kami melakukan “briefing” tentang apa-apa saja yang akan didiskusikan nantinya. Yang jelas mengenai peran perempuan Aceh dalam menjaga resiliensi pasca perdamaian. Sesuai dengan tema acara.

Aku tidak memvalidasi apapun untuk terlihat istimewa di depan kedua sosok ini. Sebaliknya, aku hanya menjadi diriku sendiri. Kejujuran itu justru menjadi jembatan yang menghubungkan kami dalam percakapan yang hangat, entah itu di bawah atau di atas panggung.

Diskusi berlanjut dengan pembahasan intim, tentang bagaimana perempuan Aceh juga menjadi pemrakarsa dalam menjaga perdamaian, terutama pasca-MoU Helsinki pada 2005. Bu Suraiya menjelaskan bahwa perempuan tidak hanya menjadi korban dengan penuh kerentanan di dalam konflik, tetapi juga agen organik pembawa perubahan nyata.

Bu Riswati menambuh dimensi yang lebih teknis dengan membahas pentingnya rekognisi kesetaraan gender di tingkat masyarakat. Menurutnya, perdamaian tidak akan bertahan tanpa adanya kesetaraan gender yang menghormati hak-hak perempuan.

“Merekalah penjaga nilai-nilai perdamaian di setiap rumah tangga,” begitu kiranya ujar Bu Riris.

Diskusi yang digelar hari itu mengalir sebagaimana yang kubayangkan. Tentu, aku tidak punya petunjuk atas apa yang akan terjadi lima tahun dari sekarang.

Jika saja ada hal yang kupelajari sebagai moderator diskusi publik kemarin, itu adalah pentingnya membuka diri terhadap kemungkinan-kemungkinan baru, kalau-kalau suatu hari nanti aku akan menjadi salah satu tokoh yang muncul dalam cerita orang lain.

Comments

Sort byBest