PAGI-pagi sekali cuaca normal. Tak ada kabut yang hinggap. Tak juga lembab. Cukup cerah untuk memulai bernafas. Alhamdulillah. Tapi, pagi ada yang tak biasa di kandang ayam saya. Menyambut pagi datang. Kokok ayam biasa, riang. Tapi tidak bagi saya. Terpaksa harus memendam segudang murka dan rasa lainnya.
Kenapa? Selepas saya menyiram cabai-cabai, baru giliran memberi makan tiga ekor ayam. Dua jantan satu betina. Si betina sedang mengeram sembilan butir telornya. Saya terlalu buru-buru menyiram tanaman pagi ini. Sebelum mengantar anak-anak ke sekolah. Karena target hari ini jam sembilan tidak pulang lagi ke rumah usai kelar urusan sekolah.
Makanya, jadwal merawat tanaman dan hewan dituntaskan pagi itu juga. Nyatanya, pagi ini berbuah duka. Itu terjadi saat melihat sebuah cangkang telur teronggok jauh di luar kandang. Perasaan tak enak menyergap. Kontan saya cek ke kandang. Ternyata benar, si betina sedang keluar sejenak cari makan. Di kandang hanya tinggal dua butir telur. Tujuh berpindah tempat.
Lantas, Cerapai (Aceh: ceurapee) menjadi tersangka pagi itu. Dengan perasaan kecewa saya pun seketika meninggalkan arena. Saolnya, jadwal mengantar anak ke sekolah sudah berdenting. Kelar mengantar anak ke sekolah, saya memilih berkultivasi di warung kopi sampai jadwal anak pulang sekolah.
Menjemput anak pulang sekolah jam setengah 12
Sepanjang jalan pulang, perasaan kesal masih menggerayang. Tujuh telor ayam dilumat cerapai. Masih belum ikhlas. kecewa, dongkol. Semua menjadi energi negatif. Akhirnya, saya hanya bisa mengikhlaskan diri. Seraya berpikir; ternyata beginilah perasaan petani atau peternak yang gagal panen.
Gagal panen karena faktor alam. Gagal panen karena ulah manusia atau binatang. Pada titik ini, saya masih merasa beruntung. Sebab, yang dimakan cuma tujuh butir telor. Bayangkan dengan peternak unggas yang ayamnya mati ribuan. Atau petani jagung, cabai dan lainnya yang gagal panen, akibat hama wereng.
Berarti saya masih beruntung. Belajar dari pengalaman. Akhirnya menjadi lebih bisa menerima. Begitu juga dengan belasan tanaman cabai yang saya tanam. Ada satu dua batang yang tumbuhnya tak maksimal. Padahal semua mendapat perlakuan yang sama. Nah, intinya sama seperti cerita di atas tadi.
Setelah shalat Zuhur semua kembali normal. Tak ada yang mengganjal. Pukul tiga sore saya keluar. Kali ini memenuhi janji dengan seorang politisi. Kami duduk di Ayah Gadeng, Neusu Banda Aceh. Boleh di bilang, ini bagian dari menjemput asa. Agar hidup terus bertenaga.
Saya berurusan di sini sampai masuk waktu shalat Ashar. Setelah itu melimpir lagi ke lokasi lain. Kali ini mencari tempat kerja agar lebih nyaman. Target kembali ke Nyak Mad Kopi, Ilie, Ulee Kareng. Aman.
Keasyikan berselencar dengan berbagai hal di sini, membuat saya lupa waktu. Sebelum magrib turun. Hujan sudah duluan membasahi. Akhirnya saya pun membatalkan diri pulang. Menunggu hingga selepas magrib. Nyatanya, hingga masuk waktu Insya. Masih di Nyak Mad Kupi, sambil menikmati puding telor.
Sebelum pulang, ada seorang rekan masuk. Namanya Nurkhalis. Sedang mengambil program doktoral di Surabaya, Jawa Timur. Sudah cukup lama tak bertemu jebolan UIN Ar-Raniry ini. Awal bersua masih S1. Bertemu lagi sedang menyelesaikan S3. Luar biasa. Kami pun bernostalgia. Sembari menanti hujan reda.
Setelah reda kami berpisah. Dia segera menjemput isteri dan anaknya. Saya juga sama. Pulang. Sebelum itu saya kembali ke Duckter Bebek. Membeli sebungkus nasi untuk makan malam. Warung ini cukup sepi. Mungkin karena malam masih gerimis.
Lima belas menit kemudian. Seorang pramusaji menghampiri. Menyodorkan sebuah kotak putih. Di dalamnya bebek goreng plus bumbu yang bikin esoknya akan datang lagi. Sebelum hujan benar-benar kembali lebat, saya pun tancap gas. Separoh perjalanan, hujan memang kembali jatuh. Alhamdullah, tiba di rumah, tidak begitu basah.
Selepas makan, kembali dengan urusan domestik kecil-kecilan. Baru kemudian menutup lembaran hidup seharian dengan beristirahat. Terima kasih sudah membaca postingan saya.
22/11/2024