New to Nutbox?

Secercah Terang di Kantin Kampus

9 comments

firyfaiz
68
2 days agoSteemit3 min read

IMG_4918.jpeg

Pada dasarnya menulis adalah napas kedua bagiku. Setiap kata yang terangkai, setiap frasa yang terbentuk membuatku jadi lebih hidup. Tapi kemudian, entah bagaimana, napas itu tersengal. Kata-kata tak lagi mengalir, jemari tak lagi menari di atas papan tik, dan pikiran tertambat pada sesuatu yang tak mampu kugambarkan.

Berminggu, entah berbulan aku terjerembap dalam kehampaan. Penyebabnya? Ah, mungkin ini bisa jadi bahan obrolan lain di masa depan. Atau mungkin perkara ini akan kujabarkan lebih lanjut di postingan-postingan lainnya. Hari ini aku ingin berbagi tentang secercah terang yang baru saja kutemukan.

Pagi itu, Banda Aceh dibalut cuaca yang tak terlalu panas. Seingatku sedikit mendung tapi tak mengancam hujan. Aku istirahat di kamar dengan pikiran melayang entah ke mana. Saat-saat seperti ini aku disarankan untuk banyak istirahat oleh dokter. Entah itu istirahat fisik atau psikis.

Ting! Sebuah pesan muncul di layar ponselku. Itu dari Pak Muna, steemian kawakan di Steemit. Steemit adalah tempat yang sama menjadi altar persembahan setiap gagasanku, termasuk yang tengah kutuliskan saat ini.

Ia bertanya, “Sedang sibuk tidak? Saya rencananya mau ke kantin USK.”

Pesannya lebih terasa seperti panggilan alih-alih ajakan. Pagi itu aku tak punya jadwal kuliah, tubuhku pun sedang dalam kondisi prima. Dua kondisi menyenanngkan yang belakangan ini jarang terjadi.

Hitungan menit setelahnya, aku sudah berada di kantin AAC USK guna bertemu Pak @munaa dan Bu @rissi. Bu Rissi kabarnya adalah seorang Steemian yang pernah bersua denganku di suatu acara meet-up. Ia mengaku pernah melihatku di Bayu saban waktu silam, tapi aku hanya bisa tersenyum sambil berpikir keras. Ingatan itu tak hadir. Wajar, belakangan memoriku bekerja sebatas temporal, buruk sekali.

Obrolan pagi itu sederhana, tanpa basa-basi berlebihan. Kami membahas Steemit, keeseharian, dan hal-hal kecil lainnya. Tetapi selayaknya kebanyakan pertemuan yang berkesan, yang membuatnya berarti bukanlah isi percakapan, melainkan perasaan yang tertinggal setelahnya.

Bu Rissi bercerita tentang adiknya yang baru saja yudisium, dan bagaimana momen itu mempertemukan kami di sini. Banyak tawa kecil saat kami berhikayat soal Steemit. Konsekuensinya adalah pikiranku jadi mengudara ke masa-masa ketika menulis di Steemit jadi sesuatu yang kurayakan. Obrolan pagi itu sukses memutar kenop yang mengunci semangatku selama ini.

IMG_4932.jpeg

Aku sadar betul betapa menulis adalah terapi tanpa tarif konsultasi. Namun seperti halnya terapi yang sukses, menulis membutuhkan disiplin dan konsistensi. Masalahnya, konsistensi itu raib entah ke mana. Aku vakum tanpa alasan yang sepenuhnya jelas. Sebagian karena situasi, sebagian karena mental, sebagian lagi mungkin karena aku terlalu keras pada diriku sendiri.

“A writer is someone for whom writing is more difficult than it is for other people.” Bukankah menulis seharusnya mudah bagi sesiapa yang terbiasa melakukannya? Entahlah, tapi pagi itu, di kantin AAC, kemudahan itu seperti kembali mengetuk pintu.

Pak Muna, di dalam celotehnya, mengingatkan aku bahwa menulis tidak harus sempurna. Sepadan dengan sebuah istilah Latin yang kukenal dari bacaan filsafat, “in medio stat virtus” atau “in the middle is virtue.”

Mungkin tugasku saat ini adalah menemukan keseimbangan (equilibrium) antara ekspektasi dan kenyataan, antara ambisi dan penerimaan diri.

Pertemuan itu cukup untuk mengisi ulang daya kepenulisanku yang saban hari terkuras habis. Tentu saja aku tidak langsung menulis novel atau artikel ilmiah keesokan harinya. Ada sesuatu yang berubah. Aku mulai membuka laptop lagi, mulai mengetik kata demi kata dengan sederhana.

Alter ego-ku meragukan. “Apakah tulisanmu cukup bagus? Apakah ada yang peduli?”

Jawabannya, IDGAF. Yang terpenting aku sudah menulis lagi, ya kan?

Comments

Sort byBest