Karena sedang ada mood dan waktu, maka saya memutuskan untuk menulis bagian dua dari postingan lanjutan dari sebelumnya… Part 1 bisa dibaca di sini.
Bapak/ibu yang terhormat di dunia maya ini kayaknya perlu juga ngaca sedikit. Flexing itu nggak semua orang suka lho, malah bikin baper kadang. Mau posting foto liburan? Boleh. Mau pamer mobil? Bebas. Silakan, nggak ada yang ngelarang, serius saya. Tapi jangan lagi lah pasang caption yang kayak penggoda diskon Black Friday, seakan-akan kita semua disuruh ikut gaya hidup elite macam kalian.
Karena jujur saja, apa yang ada di balik layar sering kali lebih seram daripada yang tampil di muka. Banyak sekali badai yang tak terlihat di belakang kamera dan itu perlu menjadi catatan. Itu mobil yang dipajang tiap bulan sekali di feed mungkin cicilannya kayak beban hidup anak kos akhir bulan. Atau bisnis yang dibilang “tinggal running aja” itu nyatanya penuh dengan urusan gaji karyawan yang mesti dibayar on time biar nggak ada yang mendadak resign. Mereka yang suka pamer jarang ngomong soal kegagalan, soal usaha yang udah kayak sinetron stripping—drama tiada akhir, atau pengorbanan yang bikin kantong dan jiwa sama-sama babak belur.
Mereka yang sibuk flexing tidak pernah berbicara tentang kegagalan, tentang usaha yang jatuh bangun, dan tentang pengorbanan waktu, tenaga, serta modal yang sering kali lebih besar dari apa yang mampu kita bayangkan. Saya berbicara ini sebagai orang yang pernah berkecimpung langsung sebagai direksi usaha. Jadi valid lah ya.
Mereka berlagak seakan bisnis adalah jalan pintas menuju kebebasan finansial. Padahal jalan menuju kesuksesan bisnis penuh dengan liku, belokan, bahkan jurang yang dalam. Dan jika mereka yang sudah mapan saja masih merasa perlu flexing, bagaimana dengan mereka yang baru mencoba memulai usaha? Saat ini ekonomi sedang tertekan, inflasi makin gak ngotak, biaya hidup terus merangkak naik, dan flexing jadi terdengar seperti candaan tak lucu bagi saya. Mereka yang bilang “mulai aja dulu” sering kali lupa bahwa ada rintangan yang membentang luas dan tidak bisa diterobos hanya dengan niat baik.
Sektor informal diisi banyak orang miskin berjuang untuk mencari nafkah. Mereka yang bekerja sebagai pedagang kecil, buruh kasar, atau petani hampir selalu terganjal regulasi (yang lebih mendukung perusahaan besar ketimbang rakyat kecil). Buat yang bilang "kenapa enggak coba bisnis aja?", agaknya mereka perlu diajak jalan-jalan ke pasar atau sawah di pelosok negeri ini, supaya bisa melihat langsung bagaimana kehidupan itu sendiri adalah late game-nya mereka yang terlahir kurang beruntung.
Kalau orang kaya ngomong “ayo usaha, pasti bisa sukses”, mereka abai bahwa kita semua tidak mulai dari garis start yang sama. Mereka yang punya rumah sendiri dan tabungan ratusan juta bisa lebih bebas ambil risiko. Sementara orang-orang yang hidupnya di bawah garis kemiskinan, yaaa... jangankan usaha, mikir buat makan besok aja kadang udah pusing. Jadi kalau ada yang ngira buka bisnis itu jalan pintas dari miskin ke kaya... jangan terlalu berharap, deh.
Besok-besok kalau anda kembali dengar perkataan semacam, “Orang miskin harusnya usaha biar nggak miskin lagi,” coba lah dipikir dua kali sebelum dicerna. Kita bukan hidup di negeri dongeng. Realita itu keras, Sob! Kalau bisnis memang solusi mutlak buat keluar dari kemiskinan, nggak bakal ada cerita orang jualan kaki lima bertahun-tahun tapi hidupnya nggak berubah. Yang ada malah tambah utang karena modal habis diputar-putar, tapi hasilnya cuma cukup buat makan sehari-hari.
Tolonglah para motivator (dari yang terkenal seantero Indo atau motivator haw-haw yang punya seribu teman di FB) yang hobinya flexing dan kasih saran-saran bijak di medsos, coba liat realita. Kita ini hidup di jalan yang berbeda-beda. Ada yang jalannya mulus kayak jalan tol, ada juga yang harus lewatin jalan becek dan penuh onak duri. Jadi janganlah semua hal dicap “bisa kok kalau mau usaha.” Buat mereka yang lagi berjuang dari bawah, saran kosong macam ini nggak banyak membantu.
Kalau mau bantu, jangan cuma kasih kata-kata motivasi. No no no, coba kasih empati. Ya kalau nggak bisa bantu secara langsung, minimal janganlah membuat mereka merasa hidupnya kurang hanya karena belum bisa pamer mobil atau liburan. Orang-orang ini kadang butuh support moral, bukan ceramah sukses yang jomplang minta ampun dari kenyataan.
Intinya, tahan diri sedikit, yuk. Kadang kita ini lebih dihargai bukan dari seberapa mahal barang yang kita punya, tapi dari seberapa kita bisa memahami kehidupan orang lain. Kalau kita memang udah ada di atas, ya nggak ada salahnya buat sedikit lebih rendah hati. Kadang hal-hal semacam itu lebih mulia adanya.