Suatu hari di selatan Jakarta, di sebuah kafe mentereng, saya duduk santai sembari menunggu bos saya. Di meja seberang, terlihat seorang perempuan muda yang penampilannya kalau boleh saya bilang niat banget. Tas Louis Vuitton menggantung di lengannya, sepatunya berkilau dengan logo besar-besar (sepertinya Versace, tapi saya nggak yakin), dan jangan lupa jam tangan mewah yang terus dia putar-putar biar kelihatan sama semua orang di ruangan.
Bukannya terpukau, saya malah merasa kasihan. Gimana ya bilangnya? Barang-barang branded itu bukannya bikin dia kelihatan berkelas, malah jadi seperti etalase berjalan. Bukan kelas yang muncul, melainkan parade barang mahal, hilang esensi.
Tak semua yang berbinar itu emas dan tak semua yang mahal otomatis berkelas. Ada sebuah barikade antara “berkelas” dan “berusaha terlihat berkelas.” Yang pertama datang dari dalam diri seorang aktor, sementara yang kedua tak lebih dari packaging semata.
Saya ingat dulu mentor hidup saya pernah bilang, “Hidup itu sederhana saja, jangan sampai miskin karena gaya.” Sebagai orang yang terlahir dengan ekonomi pas-pasan (dan sering pakai baju lungsuran orang), saya awalnya tidak paham maksud beliau.
Setelah dewasa, makin sadarlah saya betapa banyak orang yang salah kaprah soal class. Mereka pikir kalau pakai barang mahal langsung terlihat berkelas. Yang sebetulnya terjadi adalah uang mereka bekerja keras untuk barang yang justru tidak menyelamatkan mereka dari tampak kagetan.
Coba lihat orang-orang kaya lama (old money istilah kerennya). Mereka itu jarang kelihatan pamer. Pakaian mereka biasanya sederhana, nggak ada logo gede-gede, namun elegansinya tidak berkurang. Mereka paham bahwa class itu lebih ke cara berbicara, sikap, dan attitude. Kalau nggak punya itu semua, sebanyak apa pun uang yang kamu keluarkan, ya tetap aja nggak bisa beli class.
Contoh lainnya. Saban waktu saya menyaksikan video di platform kandang monyet (silakan searching sendiri, saya tak ingin kena somasi). Sekelompok influenza (eh, maksudnya influencer) sedang pamer koleksi barang branded-nya. Mulai dari tas, sepatu, sampai ikat pinggang, semua dia tunjukkan dengan bangga walaupun tabrak warna. Entah itu barang palsu atau produk gagal, intinya jika gaya semacam itu membuat orang berpikir dua kali untuk mendekat, maka jelas ada sesuatu yang salah.
Selera itu sesuatu yang terbangun dari pengalaman, pendidikan, dan exposure terhadap hal-hal yang berkualitas. Kalau kamu terbiasa dengan sesuatu yang asal “wah,” ya yang kamu anggap bagus pun akan terlihat wah di mata kamu, tetapi tidak di mata orang lain.
Sebaliknya, ada sesosok yang saya kenal. Bos saya dahulu yang selalu tampil sederhana. Pakaian yang ia kenakan tak pernah mencolok, malah ia lebih sering ia memilih merek lokal dengan potongan klasik. Tapi ketika ia berbicara, semua orang mendengarkan. Ada sesuatu dalam cara dia memandang lawan bicaranya, memilih kata-kata, atau menunjukkan empati sehingga membuat orang merasa dihargai. Inilah yang saya sebut class.
Aristoteles bilang, “Excellence is not an act but a habit.”
Nah, sekarang kita bahas hal-hal yang sering disebut sebagai unbuyable. Saya pernah baca artikel yang bilang bahwa ada banyak hal yang dimiliki OKL tetapi tidak bisa dibeli dengan uang:
Jadi, Kelas Itu Apa?
Kalau saya boleh mendefinisikan, kelas itu adalah kombinasi antara inner beauty dan cara kamu membawa diri. Kelas tidak melulu soal materi. Kamu bisa saja cuma punya satu tas biasa, tapi kalau kamu membawanya dengan percaya diri dan sikap yang baik, itu sudah cukup untuk membuat orang lain respect.