Akali Otak dengan Acting as If

el-nailul -


Image by Vojtěch Kučera from Pixabay

Kita semua—saya yakin— pernah ditodongi situasi yang memaksa kita terlihat seperti pakar. Meski sejatinya dalam benak kita hanyalah tanda yang tidak tanggung-tanggung. Salah satu seni kuno yang saya amalkan ketika berada posisi yang serupa bernama "fake it till you make it."

Tidak usah nunggu agar terlihat bisa, karena siapa tahu “kelihatan” bisa pun mampu membuat kita benar-benar bisa.

Sebagai seorang pria yang sudah tergolong paruh baya, saya sudah bolak-balik menjalani hidup dengan metode pura-pura ini. Mulai dari ruang rapat formal hingga warung kopi tempat diskusi ngasal. Tidak selalu, sih. Malah seringnya saya suka bertanya ketika ada sesuatu yang benar-benar tidak saya pahami.

Para pembaca jangan salah kaprah dulu. “Fake it till you make it" bukan berarti Anda harus menjual karung kosong dengan mengklaim isinya berlian. Saya sendiri men”takrif”-nya sebagai penghadiran versi terbaik dari dalam diri, meskipun saya sendiri belum yakin apakah versi itu benar-benar ada.

Beberapa tahun silam saya pernah diundang untuk menjadi mentor di sebuah program intensif pelatihan bahasa inggris. Saat itu sebagian dari peserta yang ikut berasal dari kalangan profesional.

Tentu saja, saya tidak menolak. Sebagai bapak yang butuh tambahan biaya sekolah anak, honorarium dari acara tersebut terlalu menggoda untuk dilewatkan. Tapi persoalannya saya tidak pernah mengklaim diri sebagai pakar dalam berbahasa inggris. Latar belakang hanyalah orang biasa, seperti kata Iwan Salman, “yang sedang-sedang saja.”

Saya tidak membuat persiapan yang terlalu “wah” kala itu. Tidak membaca artikel, menonton video di YouTube (kala itu yt belum marak seperti sekarang, atau berdiskusi dengan teman yang memang paham di bidang tersebut. Yang saya lakukan hanyalah mengajarkan dengan pendekatan yang paling mudah dipahami peserta, yaitu mengajak mereka untuk mentranslate langsung bahasa Aceh ke bahasa Inggris. Kenapa bahasa Aceh? Jawabnya, karena itu adalah bahasa daerah yang kerap dipakai dalam kehidupan sehari-hari kita. YAAA (Yang Aceh-Aceh Aja).

Kedengarannya konyol tetapi hal tersebut berhasil membuat partisipan lebih mudah memahami materi yang disampaikan.

Ada studi yang mengatakan kalau perilaku acting as if bisa memengaruhi otak kita untuk benar-benar merasa lebih mampu. Efeknya serupa dengan placebo. Membohongi diri sendiri namun hasilnya cukup efektif.

Praised emotional expressions can lead to increased emotional experience and a more accurate recall of life events, even when no longer performing the expressive behavior (Schnall & Laird, 2003)

Intinya sih kuncinya ada di rasa percaya diri. Saat bertingkah pura-pura bisa, kita sedang mengirimkan sinyal ke otak bahwa "saya mampu." Otak yang mudah dibodohi pada akhirnya percaya dan memicu tubuh untuk bertindak sesuai keyakinan itu.

Sitasi:

Schnall, S., & Laird, J. (2003). BRIEF REPORT. Cognition and Emotion, 17, 787 - 797. https://doi.org/10.1080/02699930302286.